Minggu, 20 Desember 2009 | 02:33 WIB
Ninuk Mardiana Pambudy & Putu Fajar Arcana
Bandung adalah kota di Indonesia yang warganya secara sadar berinisiatif menjadikan kota mereka sebagai kota kreatif. Lalu, apa pentingnya menjadikan sebuah kota sebagai kota kreatif?
Richard Florida, salah satu orang yang pertama-tama meneorikan ekonomi kreatif, mengatakan, saat ini masyarakat dunia memasuki transformasi besar dalam ekonomi, yaitu ekonomi kreatif. Karena itu, kota, kabupaten, atau provinsi tidak cukup hanya mengandalkan insentif ekonomi bila ingin menarik investasi di wilayah mereka.
Itu berarti, kata Florida, kota-kota harus lebih menumbuhkan ”iklim orang-orang” daripada iklim bisnis (The Rise of Creative Class, Richard Florida, Basic Books, 2004). Itu artinya, membangun apa-apa yang diperlukan untuk mendukung kreativitas di semua lini dan membangun komunitas-komunitas yang dapat menarik orang-orang kreatif.
Dalam wujud konkret, Bandung memperlihatkan upaya warganya menjadikan kota sebagai wilayah yang menarik untuk orang-orang kreatif. Mereka adalah akademisi, pelaku seni dan budaya, orang-orang yang menggunakan kreativitas, keterampilan, dan daya cipta untuk menciptakan kesejahteraan dan lapangan kerja.
Helarfest kedua tahun ini hanyalah upaya membangun kesadaran bersama tentang potensi kota itu untuk menjadi kota kreatif.
Bila tahun lalu ada 31 kegiatan, tahun ini, menurut koordinator Helarfest 2009, Tb Fiki Satari, ada 66 kegiatan. Bila tahun lalu perayaan itu berjalan tanpa kesertaan pemerintah kota dan provinsi, tahun ini pemerintah kota memberi Rp 500 juta dan pemprov mengiur Rp 500 juta.
Pemerintah kota
Keterlibatan pemerintah kota dan provinsi menjadi penting karena mereka memiliki sumber daya kebijakan dan dana untuk menjadikan kota menarik dan memunculkan orang kreatif dan berbakat.
Meski begitu, dalam sarasehan pada Minggu (13/12) antara wadah 30 komunitas kreatif Bandung, Bandung Creative Community Forum (BCCF), pemerintah kota dan provinsi, serta komunitas kreatif kota-kota lain di Jawa Barat, tampaknya pemerintah kota dan provinsi serta DPRD masih perlu belajar arti ekonomi kreatif dan peran pemerintah.
Respons wakil dari Bappeda Jawa Barat, misalnya, mengimplikasikan pengertian menumbuhkan ekonomi kreatif adalah menumbuhkan usaha kecil-menengah, sementara dinas pariwisata menyiratkan pemahaman ruang kota sebatas gedung.
Andar Manik, pelaku seni budaya di Bandung, tidak sepaham. Menurut dia, komunitas dibangun secara informal dan mengalir oleh orang-orang dengan minat dan kepedulian sama. Beberapa di antara mereka mungkin saja kemudian menjadikan minatnya itu sebagai bisnis.
”Komunitas tidak sama dengan UKM. Hubungan antara pemerintah dan komunitas jangan top-down. Sebaiknya informal saja supaya sifat kreatifnya tidak hilang,” kata Andar Manik.
Ketua BCCF Ridwan Kamil meminta agar pemerintah jangan langsung melompat pada ujung akhir ekonomi kreatif, yaitu hadirnya bisnis, dan karena itu memakai pendekatan UKM dan kredit. Pemerintah harus ikut dalam proses ekonomi kreatif dengan pertama-tama menumbuhkan komunitas kreatif melalui pendidikan dan penciptaan infrastruktur kota yang merangsang lahirnya ide kreatif.
”Orang kreatif di Bandung lahir karena pendidikan. Itu harus dimulai dari usia taman kanak-kanak, menumbuhkan keberanian anak memamerkan ide kreatif,” kata Ridwan, pengajar arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Orang kreatif, tambah Ridwan, perlu ruang berinteraksi yang nyaman yang tidak berarti harus gedung. Maka, perlu ada taman-taman kota yang nyaman serta tempat berkumpul dan berdiskusi, seperti kafe.
”Tugas pemda sifatnya teknis: memetakan industri kreatif dan bikin forum rutin untuk komunikasi antara pemda dan komunitas kreatif di berbagai kota,” kata Ridwan.
Modal kota
Bandung memiliki syarat tumbuh menjadi kota kreatif. Ukuran kotanya relatif kecil sehingga pertemuan antarorang lebih mudah terjadi. Ada banyak perguruan tinggi yang orang-orang di dalamnya dapat menjadi penggerak lahirnya ide-ide baru. Para mahasiswa yang datang dari berbagai kota melahirkan toleransi lebih tinggi di antara warga asli.
”Pendatang di Bandung banyak mahasiswa dan orang muda. Semangat mereka untuk perubahan dan belajar, tidak mengejar profit, lebih untuk membangun komunitas,” kata Adi Reza Nugroho (20), mahasiswa program studi Arsitektur ITB.
”Musik metal di Ujungberung, misalnya, ada bau Sunda-nya, pakai gendang dan angklung,” tambah Reza yang Ketua BAFFest 2009, kegiatan masyarakat arsitektur se-Bandung dalam bentuk pelatihan hingga workshop mahasiswa yang menghasilkan tawaran solusi kepada pemkot untuk ruang kota yang ramah, antara lain di Jalan Trunojoyo.
Keterbukaan dan toleransi itu, menurut pengamat kebudayaan Sunda, Jakob Sumardjo, terjadi sejak sebagian besar wilayah Kerajaan Priangan dikuasai Kesultanan Mataram antara tahun 1600 dan 1700-an. Selama 80 tahun, kebudayaan Jawa berkembang, sementara tradisi Sunda menjadi marjinal.
Ketika Belanda datang, Priangan menjadi tempat tetirah pemilik perkebunan di sekitar Bandung yang jejak fisiknya masih bisa dilihat dari bangunan dan rumah tinggal karya arsitek Belanda, antara lain CPW Schoemaker. ”Sejak zaman Belanda, warga Bandung sudah akrab dengan dansa-dansi serta noni dan sinyo Belanda,” kata Jakob.
Keterbukaan dan sifat egaliter akhirnya menjadi hal lumrah di Bandung. Sifat kosmopolitan itu, menurut pendiri Tobucil (Toko Buku Kecil), Tarlen Handayani, menguntungkan Bandung.
Meski begitu, keuntungan yang dibentuk sejarah itu harus dimaknai ulang oleh orang-orang kreatif di dalamnya. ”Kreativitas di Bandung baru pada taraf kesadaran, belum menyentuh aktivitas sosial,” ujar Tarlen.
Kreativitas itu baru bermakna, demikian Tarlen, bila berhasil memecahkan masalah bersama, seperti kepadatan penduduk, sampah, dan banjir.
Masalah lain adalah menumbuhkan wiraswasta Bandung yang tangguh karena saat ini modal besar dari Jakarta menyerbu Bandung dan mengubah komunitas hanya jadi tukang. ”Seluruh kreativitas yang ditunjukkan Helarfest harus dapat memecahkan persoalan itu,” kata Tarlen.
No comments:
Post a Comment