Oleh JAKOB SUMARDJO
KITA sekarang ini lebih menekankan hasil daripada prosesnya. Akibatnya, sikap untung-untungan dan bukan sikap perencanaan yang ditekankan. Para remaja antre audisi menjadi bintang sinetron karena menjadi bintang itu akan "kaya dan terkenal". Banyak orang menggadaikan barang-barangnya untuk ikut pemilihan caleg karena duduk di legislatif itu gajinya gede dan ditakuti orang.
Peduli pada hasil daripada proses membentuk mental konsumtif. Peribahasa pribumi malas akibat orang Indonesia tidak pernah berproses, cuma tahu hasilnya belaka. Gajimu berapa sekarang? Kamu dibayar berapa di sana? Itulah pertanyaan kita. Pertanyaannya bukan, kamu kerja pada siapa dan bagaimana kerja di sana? Hasil, upah, gaji, jumlah, itulah yang penting. Bukan bagaimana kerjanya.
Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh masyarakat Baduy Dalam. Di sana orang tahunya kerja keras setiap hari, entah berhasil atau tidak berhasil. Mereka "bertapa" di dunia ini, yakni bertapa kerja. Kerja itu ibadah. Hasilnya terserah pada yang memberi. Orang Baduy bekerja sekadar tidak lapar. Kelebihan hasil kerjanya diberikan pada orang lain yang membutuhkannya. Mereka pantang meminta pada orang lain. Kalau diberi pun juga mengukur dirinya, apakah pemberian itu memang berguna buat dirinya.
Proses lebih penting daripada hasil juga ditunjukkan dalam membuat barang-barang. Sebuah barang dibikin dengan proses yang sudah ditetapkan oleh adat bersama. Meskipun hasilnya bagus, kalau tidak melalui proses yang semestinya, hasil kerja itu tetap tidak bermanfaat. Proses atau laku itu jauh lebih penting daripada hasil produknya.
Ujian naik kelas itu juga berproses. Orang harus belajar keras. Meskipun telah belajar keras tetapi tidak lulus juga, dia tahu bahwa dirinya belum cukup keras berproses. Membikin tesis dan disertasi juga berproses. Bukan asal lulus dan tak mau berproses lagi. Lebih baik berproses terus, meneliti terus, meskipun tak pernah diuji dan tak pernah dihargai. Proses itu harus autentik, jujur, tanpa pamrih. Itulah laku ibadah. Beretika.
Dalam kategori Erch Fromm, proses dan hasil ini dirumuskan sebagai sikap "menjadi" (menghargai proses, laku) dan sikap "memiliki" (orientasi hasil). Nyatanya membuat peradaban modern lebih cenderung bersikap memiliki daripada "menjadi". Tujuan hidup modern adalah akumulasi kepemilikan. Kalau perlu, semua gelar kehormatan diperlihatkan. Kalau perlu semua kekayaan dipamerkan. Kalau perlu kekuasaan ditunjuk-tunjukkan. Bahkan kecantikan dan ketampanan dijual buat memiliki sebanyak-banyaknya uang. Aji mumpung berkembang dalam sikap "hasil".
Orientasi "hasil" ini, kepemilikan ini, akan membuat orang bersikap konsumtif bukan produktif. Kerja seringan mungkin hasil sebanyak mungkin. Kalau perlu tanpa kerja apa pun hasil terus mengalir. Jabatan lantas dilihat berapa besar dapat memperoleh benda konsumsi, bukan betapa berat tugas yang harus saya pertanggungjawabkan. Yang penting menjadi direktur, entah bagaimana kerjanya karena jabatan direktur merupakan akumulasi kepemilikan kekuasaan, kekayaan, dan kesohoran.
Menyontek itu bukan dosa intelektual, yang penting lulus atau tersohor. Otak ini dipenuhi akumulasi konsumsi pengetahuan dan bukan hasil proses kerja sendiri. Yang dinamakan orang pandai di Indonesia itu kalau berhasil menjadikan otaknya sebagai terminal pikiran-pikiran produk orang lain. Produk pemikiran sendiri itu nilainya rendah karena melalui proses laku sendiri.
Bagaimana bangsa ini akan menjadi bangsa besar kalau penghargaan terhadap proses diabaikan? Kita bisa belajar dari Cina, yang dari dulu ngotot percaya diri pada kekuatannya sendiri dan cara berpikirnya sendiri. Memang melalui proses panjang untuk membuktikan bahwa mereka akhirnya berhasil mencapai dirinya. Harus sabar tetapi terus tekun berproses. Ada perencanaan, bukan untung-untungan. Dolar boleh jatuh, tetapi rupiah tetap stabil. Itu semua akibat hasil proses.
Proses, kerja, laku, lampah, itulah hidup ini. Pantang meminta, tetapi mampu memberi. Jangan hanya belajar, tetapi juga akan dipelajari. Semua produk itu ada prosesnya. Apa bangganya mengonsumsi produk dari proses orang lain? Puaslah dengan produk sendiri yang melalui proses autentik diri sendiri. Kita bukan bangsa peminta, tetapi bangsa pemberi.
Mulailah menghargai proses. ***
Penulis, budayawan.
No comments:
Post a Comment